Minggu, 22 Maret 2009

ORDE BARU

BAB IPENDAHULUAN A. Latar Belakang
Diskursus mengenai lembaga-lembaga negara di Indonesia selalu menjadi bahasan yang menarik, UUD 1945 belum memberikan batasan yang jelas antara wewenang lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif. Fenomena yang terjadi selama empat dekade terakhir ini bahkan menunjukkan kecenderungan pengaturan sistem bernegara yang lebih berat ke lembaga eksekutif. Posisi Presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan yang tidak jelas batasan wewenangnya semakin mendorong kecenderungan ini ke arah yang negatif.
UUD 1945 memberikan wewenang tertentu kepada presiden dalam menjalankan tugas pemerintahan. Namun demikian pemberian wewenang tersebut tidak diikuti dengan batasan-batasan terhadap penggunaannya. Soekarno, mantan presiden RI, dalam rapat pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 menyatakan bahwa UUD 1945 adalah “UUD Kilat”, ini dikarenakan mendesaknya keinginan untuk memproklamasikan kemerdekaan pada saat itu sehingga infrastruktur bagi sebuah negara yang merdeka harus segera disiapkan. Hal ini menyebabkan UUD 1945 menjadi UUD yang singkat dan sangat interpretatif. Upaya politik untuk tidak mengadakan perubahan terhadap UUD 1945, sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 sendiri (Pasal 3 juncto Aturan Peralihan, butir 2), juga tidak diikuti oleh upaya lembaga legislatif untuk membuat ketentuan lebih lanjut terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945. Tidak banyak pasal dalam UUD 1945 yang telah diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan di bawahnya dan pasal-pasal yang mengatur mengenai wewenang presiden sebagai kepala negara merupakan beberapa di antaranya.
Dalam menjalankan kekuasaannya, presiden diberikan kekuasaan yang sangat besar oleh UUD 1945, yaitu antara lain tercantum dalam Pasal 10 sampai Pasal 15. Dalam pelaksanaannya, ternyata kekuasaan tersebut telah banyak menimbulkan berbagai masalah yang sampai saat ini masih diwarnai pendapat pro dan kontra seputar penggunaannya. Hal ini dapat disebabkan karena tiga hal. Pertama, besarnya kekuasaan presiden tersebut tidak diikuti dengan mekanisme dan pertanggungjawaban yang jelas. Padahal hak-hak tersebut sifatnya substansial bagi kehidupan bangsa sehingga memerlukan adanya kontrol, misalnya pemilihan duta dan konsul, penentuan susunan kabinet, wewenang untuk menyatakan perang, dan lain-lain. Kedua, fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah telah sedemikian besarnya sehingga menimbulkan sensitivitas dalam tubuh masyarakat terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya presiden. Ketiga, berkaitan erat dengan yang kedua, sensitivitas ini juga didorong oleh tumbuhnya kesadaran masyarakat dengan sangat cepat dengan dipicu oleh atmosfir reformasi yang tengah berjalan pada saat ini.
Diskusi dan kajian tentang negara di Indonesia pada umumnya didominasi oleh pendapat kuat yang beranggapan bahwa negara merupakan sebuah lembaga netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan umum. Kepercayaan yang tulus pada hal ideal ini mungkin yang mendasari pendapat-pendapat di atas, yang oleh para pejabat negara ini kemudian diturunkan menjadi jargon-jargon “demi kepentingan umum”, “pembangunan untuk seluruh masyarakat” dan lain sebagainya. Namun pada kenyataan di lapangan, terjadi banyak hal yang tidak membuktikan anggapan ideal tersebut. Negara yang identik dengan kekuasaan, sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton, cenderung untuk korup, dalam arti menyimpangi kekuasaanya (abuse of power). Negara ternyata juga memiliki kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan sendiri yang terkadang justru merugikan kepentingan umum. Kekuasaan negara yang tidak terkontrol di Indonesia sebagai akibat dari terpusatnya kekuasaan itu pada satu orang dan segala implikasi negatifnya, tampaknya mengharuskan bangsa ini untuk mengkaji ulang konsep kekuasaan presiden yang sangat besar tesebut. Pandangan negara netral dan paham integralistik, yang biasanya melegitimasi konsep tersebut, sepertinya juga tidak dapat lagi dipergunakan untuk menjawab kenyataan-kenyataan empiris yang terjadi di negara ini. Seluruh hal tersebut, ditambah dengan adanya tuntutan demokratisasi di segala bidang yang sudah tidak mungkin ditahan lagi, mengartikan bahwa sudah saatnya kekuasaan presiden yang sangat besar harus dibatasi.
Studi ini ingin menjadi bagian dari diskurus tentang kekuasaan Presiden RI, khususnya kekuasaannya sebagai Kepala Negara. Dalam studi ini dipaparkan dan dianalisis bentuk-bentuk kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara, yang secara normatif didasarkan pada UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. B. Pokok Permasalahan dan Tujuan Penelitian
Studi ini dilakukan dengan beberapa permasalahan yang dianggap mendasar bagi pelaksanaan kekuasaan presiden tersebut, yai-tu :
1. Apa saja bentuk kekuasaan presiden RI dalam hukum positif Indonesia serta bagaimana mekanisme pelaksanaannya selama ini?
2. Sistem dan mekanisme apa yang dibutuhkan untuk mengurangi kecenderungan penyimpangan kekuasaan dari pelaksanaan kekuasaan tersebut?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan gambaran tentang konsep-konsep dan dasar hukum kekuasaan presiden RI.
2. Menganalisis secara konseptual mekanisme pelaksanaan kekuasaan presiden RI yang terdapat dalam hukum poistif di Indonesia.
3. Mengemukakan rekomendasi terhadap makanisme pelaksanaan kekuasaan presiden RI di masa mendatang.
C. Deskripsi Umum Pelaksanaan Kekuasaan Presiden Di Masa Orde Baru
Dalam banyak literatur telah dinyatakan bahwa UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar pada Presiden RI untuk menyelenggarakan roda kenegaraan. Ismail Suny membagi kekuasaan Presiden RI berlandaskan UUD 1945 menjadi; kekuasaan administratif; kekuasaan legslatif; kekuasaan yudikatif; kekuasaan militer; kekuasaan diplomatik; dan kekuasaan darurat. Sedangkan H. M. Ridhwan Indra dan Satya Arinanto membaginya ke dalam; kekuasaan dalam bidang eksekutif, kekuasaan dalam bidang legislatif, kekuasaan sebagai Kepala Negara, dan kekuasaan dalam bidang yudikatif. Kekuasaan presiden yang luas tersebut tercakup dalam fungsinya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan sekaligus mandataris MPR. Praktek kenegaraan dan politik yang dalam sejarah mendasarkan dirinya pada UUD 1945, ternyata cenderung memanfaatkan secara negatif peluang yang diberikan UUD 1945, yaitu kekuasaan sangat besar yang terpusat pada lembaga kepresidenan. Soekarno menjalankan kekuasaannya dengan menggunakan konsep demokrasi terpimpin. Konsep ini telah terbukti mengandung karakteristik otoritarian yang kental, dengan terpusatnya kekuasaan pemerintahan pada satu orang saja. Orde baru yang niat awal terbentuknya adalah mengoreksi segala wujud penyimpangan yang dilakukan rezim Soekarno, tenyata dalam prakteknya hanya mengubah jargon-jargon yang dikumandangkan pada masa sebelumnya, namun secara substansial sifat otoritariannya tidak berubah. Kalau pada rezim Soekarno model pemerintahan didasarkan pada paham demokrasi terpimpin dan Manipol Usdek, maka di masa pemerintahan Soeharto jargon tersebut dibahasakan dengan paham demokrasi pancasila yang didasarkan cita negara integralistik. Apabila di masa Soekarno legitimasi pemerintahannya didasarkan pada slogan “revolusi”, maka di era Soeharto legitimasinya didasarkan pada slogan “pembangunan” dan “stabilitas politik”. Kedua hal tersebut ditujukan untuk membentuk suatu pemerintahan yang kuat (strong state), yang oleh kedua rezim tersebut dianggap sebagai prasyarat mutlak bagi berhasilnya suatu pemerintahan.
Mohtar Maso’ed mencatat bahwa latar belakang utama terbentuknya rezim orde baru yang otoritarian adalah trauma konflik politik yang parah, baik horisontal maupun vertikal, dan terpuruknya perekonomian Indonesia pada masa kepemimpinan Soekarno. Untuk itu orde baru memilih untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Secara konstitusional sebagaimana telah dikemukakan di atas, orde baru didukung oleh UUD 1945. Orde baru dan para pendukungnya, terutama Angkatan Darat, kemudian berhasil menempatkan pusat kekuasaan pengambilan keputusan kebijakan publik pada birokrasi yang secara langsung di komandoi oleh Presiden Soeharto. Sekurang-kurangnya ada lima kekuasaan presiden yang tercatat dalam hukum posistif Indonesia, kekuasaan sebagai kepala pemerintahan, sebagai kepala negara, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, serta kekuasaan militer dan darurat. Dalam praktek politik dan ketatanegaraan selama masa orde baru, implementasi dari kekuasaan-kekuasaan tersebut menjadi instrumen yang efektif untuk mengintervensi dan mengeliminasi peranan lembaga-lembaga negara lain dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan dan pemerintahan. Kekuasaan pemerintahan yang ada pada presiden, atau biasa disebut dengan kekuasaan eksekutif, merupakan konsekuensi dianutnya sistem pemerintahan presidensil oleh UUD 1945, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Kekuasaan yang sangat luas ini selama pemerintahan orde baru tidak diterjemahkan lebih lanjut ke dalam bentuk-bentuk yang bersifat lebih operasional, dengan batas-batas tanggung jawab dan kewenangan yang jelas. Ketiadaan batas-batas tersebut menyebabkan Pasal 4 ayat (1) menjadi pegangan utama satu-satunya bagi kekuasaan pemerintahan ini.
Kewenangan membentuk Keputusan Presiden (Keppres) yang mandiri adalah salah satu wujud kekuasaan pemerintahan yang ada pada presiden. Sebagaimana telah disinyalir oleh berbagai pakar dan penelitian, kewenangan ini cenderung mengalami penyimpangan baik secara formil maupun materil, sehingga menjadi salah satu yang signifikan pada saat ini untuk dilakukan pengkajian ulang atas kewenangan pembentukan Keppres yang mandiri oleh presiden, di samping bentuk-bentuk lain dari kekuasaan pemerintahan lainnya.
Kekuasaan sebagai kepala negara oleh beberapa pakar hukum tata negara dikonsepkan secara berbeda-beda. Padmo Wahjono menyatakan kekuasaan presiden sebagai kepala negara secara sempit, sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15 dan peraturan perundang-undangan dalam hal pengangkatan-pengangkatan, adalah kekuasaan/kegiatan yang bersifat administratif, karena didasarkan atau merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan atau advis suatu lembaga tinggi legara lainnya. Jadi bukan hak prerogatif yang mandiri. Dalam kenyataannya, selama pemerintahan orde baru, kewenangan yang “hanya” bersifat adminsitratif ini cukup berpengaruh terhadap jalannya praktek politik dan kenegaraan di Indonesia. Pengangkatan hakim-hakim, anggota-anggota MPR dan DPR, serta jabatan-jabatan penting lainnya, merupakan ajang seleksi politik bagi orang-orang yang akan memasuki wilayah kekuasaan negara. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa orang-orang yang berada di “lingkar luar” kekuasaan sangat sulit untuk menduduki suatu jabatan tertentu dalam lembaga-lembaga negara dan pemerintahan. Oleh karena itu, lembaga-lembaga yang harusnya melakukan fungsi kontrol, tidak dapat bertindak secara optimal bahkan mandul.
Kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif serta kekuasaan militer dan darurat, merupakan tambahan dari kekuasan presiden yang konvensional. Secara konseptual, ketiga kekuasaan yang langsung diberikan oleh UUD 1945 ini tidak dilakukan secara mandiri oleh presiden, namun pada taraf pelaksanaan tampak kekuasaan presiden begitu dominan, terutama dalam bidang pembentukan undang-undang dan dalam kedudukannya sebagai penguasa tertinggi militer. Legitimasi konstitusi saja tampaknya tidak cukup bagi orde baru. Untuk menghindari terulangnya keadaan di masa orde lama, orde baru secara sistematis berusaha memusatkan kekuasaan dengan melemahkan institusi-institusi yang seharusnya dapat menjadi lembaga kontrol yang mengimbangi kekuasaan presiden yang dominan. Institusi-institusi tersebut hampir merupakan seluruh bagian dari sistem kenegaraan di Indonesia. Mulai dari lembaga tertinggi dan tinggi negara, infrastruktur politik, pers, infrastruktur hukum sampai instritusi-institusi yang ada di dalam masyarakat hingga ruang lingkup terkecil, tak lepas dari intervensi kekuasaan. Kedudukan birokrasi yang dominan ini didukung oleh unsur-unsur yang merupakan sumber kekuasaannya, yaitu kerahasiaan, monopoli informasi, keahlian teknis dan status sosial yang tinggi. Selama masa kepemimpinan Soeharto, unsur-unsur inilah yang kemudian menjadikan rezim yang dipimpinnya hampir steril dari kontrol lembaga lain, dan justru menjadi dasar bagi fungsi pengendalian atas masyarakat.
Jadi cukup jelas sebenarnya, kekuasaan presiden yang besar yang diberikan oleh UUD 1945 selama masa keberlakuannya, cenderung dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa untuk kepentingan-kepentingan politiknya sendiri. Kekuasaan Presiden ini kemudian hanya menjadi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan golongan tertentu yang pragmatis sifatnya dan secara empiris selalu mengorbankan, atau paling tidak mengeliminasi, kepentingan demokratisasi di Indonesia.
===================================================Ingin memiliki Skripsi/Tesis versi lengkapnya? Hubungi Kami.===================================================Tulisan terkait:VARIASI SETTING BOTTOM ROLLER DAN DISTANCE CLIP TERHADAP KETIDAKRATAAN (U%) ROVING RAYON TEX590,6 DI MESIN SPEED TYPE TOYODA FL-16PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH MELALUI EVALUASI ANGGARAN DAN REALISASINYASISTEM DAN PROSEDUR AUDIT AKTIVA TETAP DAN PERSEDIAAN PADA PEMERINTAH DAERAH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar